kukirimkan sepotong senja ini untukmu alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. sudah terlalu banyak kata di dunia ini alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa.
aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia alina. untuk apa? kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya?
di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. setiap kata bisa diganti artinya. setiap arti bisa diubah maknanya. itulah dunia kita alina.
kukirimkan sepotong senja untukmu alina, bukan kata-kata cinta. kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
--sepotong senja untuk pacarku. (karangbolong-jakarta, 1991)
senja yang kau kirimkan sudah kuterima, kukira sama lengkap seperti ketika engkau memotongnya di langit yang kemerah-merahan itu, lengkap dengan bau laut, desir angin dan suara hempasan ombak yang memecah pantai. ada juga kepak burung-burung, lambaian pohon-pohon nyiur dalam kekelaman, sementara di kejauhan perahu layar merayapi cakrawala dan melintasi matahari yang sedang terbenam.
aku pun tahu sukab, senja yang paling keemas-emasan sekalipun hanya akan berakhir dalam keremangan menyedihkan, ketika segala makhluk dan benda menjadi siluet, lantas menyatu dalam kegelapan. kita sama-sama tahu, keindahan senja itu, kepastiannya untuk selesai dan menjadi malam dengan kejam. manusia memburu senja ke mana-mana, tapi dunia ini fana sukab, seperti senja.
kehidupan mungkin saja memancar gilang-gemilang, tetapi ia berubah dengan pasti. waktu mengubah segalanya tanpa sisa, menjadi kehitaman yang membentang sepanjang pantai. hitam, sunyi dan kelam.
rupa-rupanya dengan cara seperti itulah dunia mesti berakhir.
--jawaban alina. (pondok aren, sabtu, 10 febuari 2001)
kini tinggal surat terakhir, yang rasanya tiba-tiba menjadi berat sekali. anak-anak desa yang sedang menggembala kambing, ikut berkerumun ketika aku mengambil surat dari dalam tas di boncengan.
"cahaya! cahaya!" teriak mereka.
mereka berkumpul dan menatapku dengan mata bertanya-tanya. kuambil amplop itu, berat juga untuk ukurannnya, malah berat sekali. heran aku bisa kuat membawanya selama ini. rupa-rupanya ada celah yang terbuka. petugas federal express di kota di mana pelangi tidak pernah memudar itu kurang teliti merekatkan penutup amplop. payah. itulah kalau kerja sudah menjadi rutin, tidak terpikir bahwa surat bukanlah sekadar surat.
sebuah surat adalah pesan, kandungan rohani manusia yang mengembara sebelum sampai tujuannya. sebuah surat adalah sebuah dunia, di mana manusia dan manusia bersua. itulah sebabnya sebuah surat harus tertutup rapat, pribadi dan rahasia, dan tak seorang pun berhak membukanya. masalahnya, surat ini sekarang sudah terbuka, dan aku yang dengan tidak sengaja menengok ke dalamnya bagaikan langsung tersihir.
"awas pak! jangan masuk! itu senja!" anak-anak itu berteriak.
aku tidak ingin masuk, tapi aku tersedot ke dalamnya.
--tukang pos dalam amplop. (pondok aren, senin, 26 febuari 2001)
____________________
*petik daripada kompilasi tulisan seno gumira adji darma, dalam buku terbitan gramedia pustaka utama, yang tajuknya ialahhh 'sepotong senja untuk pacarku', pada bahagiannn 'trilogi alina'.