Monday, October 01, 2018

menunggu hujan datang.






pagi kota di awal oktober.


sinar matahari menyelimuti sosok-sosok pagi yang masih kedinginan, tapi gigih memulakan hari dengan penuh semangat. sedang musim hujan sekarang, mungkin akan berterusan sepanjang menuju penghujung tahun. orang-orang yang berpapasan di hadapan kaki lima barisan toko-toko, hampir semuanya membawa payung dan bedasi hujan masing-masing. tapi, hujan sepertinya masih belum mula beroperasi untuk hari ini. 



petrikor.


sampai di tepi jalan, talipon laki-laki berdering di dalam poket baju kemeja kotak-kotaknya. diangkat. angguk-angguk. dimasukkan kembali ke poket. berjalan menuju pondok menunggu bas di tepi jalan berdekatan. atap dan dindingnya diperbuat daripada bahan lutsinar, kecuali kerusi tunggu; tiga batang silinder keluli yang terkeluar daripada lantai konkrit melengkung dari hujung ke hujung. laki-laki duduk sendirian. tadinya dia hampir menyeberangi jalan, tapi membatalkan hasratnya setelah panggilan talipon itu dijawab.

lengan panjang kiri baju kemeja kotak-kotak ditarik naik sedikit, sehingga jam yang melilit di pergelangan kelihatan. usai melirik paparan waktu digital, laki-laki membuang pandangannya ke arah jalan berturap lurus yang agak jauh lokasi belokannya, sama ada di hujung kiri atau kanannya. aroma petrikor daripada hujan-hujan hari lepas, masih ada berlegar di ruang udara sekitar. jalanan masih ada yang basah. pada lopak air berdekatan pondok tunggu, terpantul cerminan imej laki-laki yang sedang mengeluarkan buku puisi berwarna puteh dari beg kanvas. selak halaman bertandabuku.

tidak lama, dari belakang, datang gadis dengan buru-buru, melabuhkan duduknya di kerusi keluli. sekilas, gadis terpandang di hujung bertentangan, ada susunan buku-buku tebal, milik laki-laki.

"wah, lumayan berat tu membawanya ke sana sini.."

spontan ayat itu berlalu pada fikirannya. tajuk pada buku-buku tebal itu tidak ada yang serupa, tapi penulisnya sama; russell c hibbeler. kemudian gadis terperasan ada buku lain, buku puisi berwarna puteh yang sedang ralit dibaca laki-laki.

"ah, buku itu!"

bisik, atau mungkin jeritan kecil gadis tenggelam dalam bunyi trafik sibuk yang meluncur di jalan raya dengan dua lorong pada kedua-dua arah itu.






hangat.


jalanan masih belum lengang. laki-laki terus menyelak halaman demi halaman buku puteh bertulis puisi di tangannya. sedikit pun tidak terganggu dengan roda-roda yang berputar laju di hadapan pondok tunggu.

sedangkan gadis sesekali berpaling ke belakang, ke kiri dan ke kanan, mencari kelibat-kelibat yang gadis tunggu. sesekali pandangannya terhenti pada buku puteh bertulis puisi yang sedang dibaca laki-laki. tadinya gadis mahu saja terus menyeberangi jalan. nama jalan di hadapan pondok tunggu ini sudah betul, tapi gadis tidak pasti di seberang mana, kelibat-kelibat yang gadis tunggu akan muncul. akhirnya gadis penasaran atas dua hal; tentang hadirnya kelibat-kelibat yang gadis tunggu dan tentang buku puteh bertulis puisi yang sudah lama gadis cari hampir di semua toko buku yang gadis tahu ada di kota ini, tapi tidak ada satu pun yang menjualnya. gadis memandang ke langit, sepertinya mengharapkan hujan datang segera pada ketika itu juga. gadis butuh sedikit lagi waktu dan alasan untuk terus berada di pondok tunggu itu.






...




"kak, itu buku apa?"
"ini? isinya cuma puisi doang. tapi, sumpah keren lho."
"wah, judulnya dengan muka kavernya juga bagus. puteh.. minimalis banget. baru dibeli? belinya di mana kak? berapa harganya? pengen cari juga nih."
"nanti pinjam baca yang ini saja. susah dicari soalnya.. ini pun kebetulan baru tadi terbeli di tepi jalan. harganya? emm.. setin kopi.."
"dengan cuma setin kopi? yang benar lah kak.."
"ya, ini serius lah."
"hahaha. lucu.." 




...






pada mukasurat terakhir salah satu buku tebal, dengan pena berdakwat hitam cair, laki-laki menulis sesuatu.

--kamu tidak sendirian menunggu hujan agar ia segera datang.








pena dilepaskan.

laki-laki capai tin kopi wonda extra presso.
ada tanda harga yang masih melekat,
$1.70




1 comment: