Sunday, September 30, 2018

amplop berisi pikiran dan perasaan septemberu.




bismillah. 

assalamualaikum.
orang-orang menjual jam di meja-meja pasar malam, di dalam almari kaca kedai mewah berhawa dingin dan di akaun-akaun media sosial, padahal waktu tidak pernah boleh dibeli. siapa yang paling menghargai waktu tidak dicari pada orang yang mengenakan jam yang paling mahal. waktu tidak pernah akan berputar kembali ke belakang meskipun kita memutar balik jarum jam pada arah yang bertentangan. memiliki banyak jam, jam di tangan, jam di dinding, jam di telefon dan jam di komputer tidak membuatkan seseorang memiliki banyak waktu. memberikan waktu kita untuk seseorang tidak bererti kita perlu memberikan jam kita kepadanya. jam adalah khayalan sedangkan waktu adalah realiti.


































































































___
'demi waktu', bukan 'demi jam'.

Monday, September 17, 2018

quatervois.




"langit tidak dibuka untuk menerima kunjungan malam ini." 
"kenapa? apa yang tiada di langit ini malam?" 
"night sky without the stars. pale and dull." 
"dude, you just literally skipped the moon while looking for the stars."

malam itu kanvas langit sedikit lengang. entah apa yang digunakan matahari untuk meletakkan bintang di sana ketika senja tadi. kalau dilekatkan dengan gam uhu, mungkin terlalu sedikit yang disapukan padanya. kalau ditampalkan dengan pin, mungkin tidak cukup kuat ditekan masuk. apa pun itu, sungguhlah matahari tidak bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya. sambil lewa saja, mentang-mentang sudah menuju waktu tamat kerja.

bintang-bintang dengan mudahnya tertanggal, ditiup oleh angin, terbang melayang. bergesel dengan awan, tercabut satu demi satu. jatuh berderai ke bumi. esok pagi, pasti matahari bingung mahu mencari satu per satu butir bintang yang berserakan itu.

"kalau langit ni sebuah pementasan teater cahaya, bintang adalah bintang utamanya. bintang ni elemen spesial. bulan? bulan tak perlu cari pun akan sentiasa ada di langit setiap malam." 
"itulah sebabnya." 
"sebab? sebab apa?" 
"sebab bulan sentiasa ada di langit walau apa pun keadaannya di atas sana. orang kata kita tidak akan perasan tentang sesuatu yang ada bersama kita sehingga sesuatu itu hilang. tapi hakikatnya, kita sebenarnya tahu dan sedar tentang sesuatu itu yang sentiasa ada dekat dengan kita, tapi kita fikir kita tidak akan pernah kehilangannya. kita memang suka buat benda ironi."

bulan sedang berpaut pada tali tergantung yang terikat kemas pada sebatang paku yang sudah lama ada terekat di siling langit. malam itu, bulan menyaksikan semuanya. bintang-bintang di kanvas langit yang tertanggal, jatuh dan berserakan ke bumi. bulan tidak senang hati melihat apa yang berlaku di sekelilingnya. ia sedikit panik tapi cuba untuk tetap berfikiran waras.

bulan sedikit-sedikit merenggangkan pautannya pada tali tempat ia bergantung, mencuba-cuba untuk menangkap butir-butir bintang yang berjatuhan tapi graviti terlalu laju menarik mereka ke bumi. tidak tergapai.


"hmm, you're not specifically talking about the moon right? is there something else?" 
"of course. there is always something else in the creation of Allah, if we look deeper into it." 
"so, what is it this time?" 
"i'm actually talking about myself. well, i used to memorized some ayahs from the qur'an that i thought i will never be able to. and then, yeah i also thought that i will never forget anything once i got them memorized in my mind.. but now i realized, i'm erasing kalimah by kalimah at every moment i surrender myself to the dark side of me. i took the light that Allah had given me, for granted. you don't put qur'an's ayah in the  mind, but in your heart. and you cannot read anything in the dark even if it is there."
"so? go get the light back if you think they're worth your everything. fight back dude."


akhirnya, bulan membuat keputusan paling besar sepanjang ia bertugas sebagai sekuriti langit shif malam. ia melepaskan pautannya pada tali tempat ia bergantung dan melompat turun ke bumi. menggeledah hutan, menyelam laut dan menyelak bangunan-bangunan konkrit untuk memungut semula semua butir bintang yang terjatuh.

malam itu direkodkan sebagai langit yang paling gelap gelita tanpa sedikit pun cahaya.



Friday, September 07, 2018

hujan 1969.





(1) 
        apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?
apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang
turun di selokan?
        ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan
hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan
yang berulang.
        “tak ada. kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di
balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa
pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik
air menggelincir dari daun dekat jendela itu. atau
memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu
tidur.”
        barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan
tak lagi mengenalnya.

(2) 
apakah yang kita harapkan dari hujan? mula-mula ia di
        udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam
        dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau
        bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari
        daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di
        pekarangan rumah, dan kembali ke bumi.
apakah yang kita harapkan? hujan juga jatuh di jalan yang
        panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan
        kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus
        mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini,
        bercakap tentang lautan.
apakah? mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan.
        selamat tidur.

(3) 
dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya
terpisah dari hujan

___
*hujan dalam komposisi, sapardi djoko damono (1969)