"Ustaz, dulu ana merasa bersemangat dalam dakwah. Tapi kebelakangan ini rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.
Sang murabbi hanya terdiam, mencuba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.
“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak Islamik. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti ini, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingin sendiri saja.." jawab mad'u itu.
Sang murabbi termenung kembali. Tidak nampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
"Akhi, bila suatu masa antum naik sebuah kapal mengharungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat buruk. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang lapuk bahkan kabinnya berbau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna cukup dalam.
Sang mad'u terdiam berfikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
"Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" sang murabbi cuba memberi pilihan.
"Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan jerung datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.
Sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Akhi, apakah antum masih merasa bahawa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" pertanyaan berat ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.
"Bagaimana bila kereta yang antum pandu dalam menempuh jalan itu rosak? Antum akan berjalan kaki meninggalkan kereta itu di tepi jalan, atau cuba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam sendu tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup ustaz, cukup. Ana sedar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat pingat kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."
"Biarlah yang lain dengan urusan peribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana.." sang mad'u berazam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah peribadi-peribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang diproses untuk menjadi manusia terbaik pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuskanlah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Kerana di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang terbaik. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu ditangani dengan cara itu, maka sampai bilakah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekadar pemerhati yang hanya perlu memberi komen. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun boleh melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahkan amanat oleh Allah untuk menyelesaikan masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya pandai mendedah kelamahan, yang dgn nya boleh menjadikan kerja dakwah semakin rumit."
"Jangan sampai, kita seperti menyiram minyak ke bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, boleh menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bermain dihatinya.
"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kemampuan ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
"Siapa kata antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kemampuan yang berbeda. Namun tidak ada yang boleh menilai, bahawa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut sang murabbi.
"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Kerana peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sesuatu isu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal seorang yang budak hina menemui kemuliaannya."
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari keasyikan tidurnya.
Malam itu, sang mad'u menyedari kesilapannya. Ia bertekad untuk tetap bergerak bersama jama'ah dalam mengharungi dakwah. Pencerahan diperolehnya.
- Dato' Tuan Ibrahim bin Tuan Man.